Tulisan Frans. Nadeak di Face Book:
Dalam beberapa minggu ini, beberapa sahabat sengaja menemuiku untuk berbagi cerita, pengalaman, dan persepsi tentang menikah beda suku ini. Sebetulnya masih ada tentang beda agama atau beda keyakinan beragama. Karena walaupun berbeda permasalahannya, tapi secara prinsip, bagaimana seseorang menyikapi perbedaan, terutama dalam hal pernikahan sama saja.
Terlontar pendapat bahwa menikah sepasang manusia berbeda suku atau agama adalah sangat menyulitkan dan seperti 'cinta terlarang'. Mengapa pendapat dan anggapan ini terpatri dalam pikiran dan batin banyak orang?
:-)
Sebenarnya adalah hal yang wajar jika orangtua tidak langsung mengamini anaknya menikah dengan seseorang yang berbeda suku. Adalah hal yang biasa seorang agak dingin dengan suatu budaya tertentu. Tapi apakah kita harus tetap dingin? Apakah kita harus menjadi orang yang tidak terbuka? Apakah kita harus menutup diri kepada orang lain, kepada yang berbeda dengan kita?
Dan bahasan kita adalah masih mengenai hal yang sepantasnya diketahui atau disadari sepasang manusia yang mau menikah, bukan hal yang dihadapi dalam pernikahan. Karena ketika sepasang manusia menikah, jauh lebih banyak hal yang dihadapi dari yang mampu dipikirkan sebelumnya. Kalau hal itu disebut 'masalah', maka itu menjadi masalah bagi orang itu. Kalau hal itu disebut sebagai tantangan membuat sepasang manusia itu untuk bertumbuh dan tangguh, maka jadilah seperti itu - membuat manusia bertumbuh dan semakin tangguh.
Saya sering membayangkan keinginan menikah berbeda suku (agama) ini dengan mendaki gunung. Umpama saja, jika sepasang manusia sama suku, sama kultur dan banyak kesamaan lainnya, maka mereka seperti mau mendaki gunung setinggi 3.500 meter. Lalu jika sepasang manusia yang berbeda suku, berbeda kultur (tapi kita jangan lupa juga, bahwa persamaan mereka juga pasti sangat banyak), maka mereka seperti mau mendaki gunung setinggi 7.000 meter.
Tentu, jika mau mendaki gunung setinggi 3.500 meter dan setinggi 7.000 meter, maka persiapan segala hal pun pasti berbeda. Tantangan, kesulitan, kebingungan, dan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan lebih tinggi, lebih sering, dan lebih banyak ditemui jika mendaki gunung yang 7.000 meter.
* * *
Sebenarnya masih ada keuntungan atau kelebihan lain jika sepasang manusia menikah beda suku atau kultur dibanding yang satu kultur.Tentu segala hal yang tidak dimiliki seseorang yang ada pada pasangannya, menjadi lahan yang baru untuk mengembangkan dirinya, Ini termasuk semua hal yang berhubungan dengan budaya: tradisi, ritual, adat, dan bahasa. Kita ambil misalnya satu saja, bahasa. Jika kedua suku itu memiliki bahasa masing-masing dan masing-masing insan yang mau menikah ini mempelajari bahasa pasangan lainnya, dan sampai bisa berbahasa pasangannya, maka dia memperoleh kelebihan dan hal yang tak ternilai tersendiri.
Bahasa adalah pintu gerbang untuk memasuki suatu budaya. Mempelajari bahasa artinya mempelajari budaya itu sendiri. Dan kalau dimaknai secara luas, kalau kita belajar matematika berarti kita belajar bahasa matematika. Kalau kita belajar sesuatu maka kita belajar bahasa sesuatu itu, apa pun sesuatu itu.
* * *
Kita bayangkan jika sepasang manusia yang kebetulan berbeda suku mau merajut pernikahan, maka tentu persiapan dan segala seluk beluknya adalah tidak semudah sepasang manusia yang mau menikah yang kebetulan satu suku, satu kultur.
Saya memiliki kenalan dekat yang menikah berbeda suku dan agama. Suami, Batak campuran Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatra) beragama Islam dan istri Jawa beragama Katolik. Saya sudah melihat keluarga ini, bukan lagi terombang-ambing, tapi sudah tergolong luar biasa. Sang suami selalu ikut dalam acara misa malam Natal, misa malam Paskah, dan peristiwa besar lainnya. Bahkan sering dalam acara misa hari Minggu, sang suami ikut di dalam gereja dengan penuh hikmat. Bukan hanya duduk di mobil atau di suatu tempat merokok atau minum kopi sembari menanti acara misa selesai lalu pulang bersama. Tidak. Sang suami terlibat dan turut mencoba mempelajari, mencoba mengalami peristiwa-peristiwa yang agung. Apa lagi yang mau kita katakan dengan seorang laki-laki yang seperti ini?
Tapi, saya sendiri memiliki kekaguman tersendiri jika ada sepasang manusia yang berniat tulus dan tekun untuk menikah berbeda suku, agama, bahkan berbeda hal-hal lain. Menikah satu suku adalah biasa saja. Boleh disebut, tantangannya tidak sehebat sepasang yang berbeda kultur. Orang yang menikah dengan semakin banyak perbedaan, bisa digambarkan sebagai memiliki semakin banyak keberanian.
Bukankah perempuan dan laki-laki menikah justru karena mereka berbeda?
Memang yang penting masing-masing pasangan itu sudah mengetahu bahwa pasangannya bukanlah penipu. Tentang penipu ini saya teringat akan perkataan seorang psikolog, Charles Lowery,
Dari semua orang yang hidup di bumi ini, penipu yang paling utama di dunia ini adalah orang yang mendekati seseorang dengan tujuan menikahinya. Orang seperti ini bukan saja bersikap sebaik mungkin, tetapi mereka berpenampilan sangat rapi, dan menjaga tinggkah laku dan penampilannya selama proses itu masih berlangsung. Inilah salah satu alasan mengapa orang-orang yang didekati yang bijaksana, akan menunggu selama dua tahun sebelum bersedia dinikahi.
Psikolog lain berkata dua tahun adalah waktu yang cukup untuk memunculkan karakter asli seseorang, bahkan psikolog lain berkata, kadang-kadang waktu dua tahun masih terburu-buru.
Dan jika sudah diketahui, bahwa pasangannya, bukan penipu, hal yang sangat fundamental lagi, bisakah orangnya melakukan komitmen? Komitmen bukan saat pengungkapan janji, ikrar, atau pun sumpah. Komitmen adalah justru sesaat setelah janji, ikrar, atau sumpah itu diucapkan. Apalah yang dapat dipercaya dari seseorang yang tidak berkomitmen?
:-)
* * *
Kembali tentang mendaki gunung tadi. Semakin banyak perbedaan pasangan yang mau menikah, maka semakin tinggi gunung yang akan didaki. Maka akan sangat indah dan menakjubkan jika kita mengingat orang Selandia Baru, Sir Edmund Hillary. Kisah Sir Edmund Hillary adalah mengagumkan ketika menaklukkan Gunung Mount Everest, gunung tertinggi di bumi ini. Sir Edmund Hillary adalah orang pertama yang mendaki gunung tertinggi di dunia pada 29 Mei 1953.
Kisah menegangkan tentang persahabatan, kepercayaan, bahkan nyawa terjadi saat pendakian itu. Edmund Hillary ditemani penunjuk jalan, seorang Nepal, Tenzing Norgay. Suatu saat ketika mereka sedang turun, Hillary kehilangan keseimbangan, dan Tenzing menahan tali ikatan mereka dengan sangat kuat untuk menghindari mereka jatuh ke kematian dengan memukul kapak esnya sekuatnya ke dinding es.
Ketika ditanya kemudian kepada Tenzing tentang itu, ia menolak pujian yang berlebihan karena menyelamatkan nyawa Edmund Hillary, Tenzing mengatakan yang sederhana tapi filosofi dari kehidupan, dan pasti filosofi pernikahan, "Para pendaki gunung selalu saling menolong."
Dan ketika Sir Edmung Hillary berkeliling dunia karena aksi dan karyanya dan mendapat berbagi penghormatan dan penghargaan, dia berkata, "Ketika mendaki, kita tidak menaklukkan gunung, tapi menaklukkan diri sendiri."
http://www.
Tanggapan sahaya:
Ini spektrumnya bisa berbeda beda di tiap tiap orang karena "Pendakian" perbedaan yang melibatkan perasaan antar pribadi belum ada manual booknya. Jadi saya tidak bisa mengamini pendapat Kak Frans. Apa Kak Frans pernah masuk ke dalam situasi ini sehingga Kak Frans bisa berpendapat seperti di atas? Saya ingin tahu kesimpulannya. Happy ending atau sad ending?
Pernahkah kak Frans menyelami perasaan suami muslim yang selalu menemani istrinya dalam kegiatan gereja, apa sebenarnya yang dia rasakan? Apa perlakuan ini berlaku sebaliknya di pihak suami? Sang Istri menemani suami ke masjid dan pengajian? Saya pikir fleksibilitas suatu sistem tertentu akan menyulitkan ini. Bahkan yang mucul adalah sebuah "Arogansi Rohani" terhadap toleransi yang ditunjukkan sang suami. Kelebihan dari pernikahan beda suku dan agama yang disebutkan Kak Frans di atas lebih pada benefit secara artifisial tapi tidak menyentuh substansi. Bahwa apa yang dijalani oleh pasangan berbeda suku dan agama ini benar benar menyenangkan mereka secara bathin? Apakah jiwa mereka merasa begitu bebas dalam menjalani yang disebut toleransi? Kak Frans mungkin bisa berkata demikian karena Kak Frans melihatnya dari luar lingkaran (seandainya saja hipotesa ini bisa lebih diperdalam lagi dengan mengadakan wawancara langsung dengan sang pelaku saya sungguh sangat senang, hehehehe)
Dari pola yang saya lihat tentang pasangan beda suku dan agama selain pemaparan kak Frans di atas, saya mendapati ada beberapa pasangan yang memilih (dalam hal ini beda agama) untuk tidak menjadi praktikan dalam komunitas beragama mereka. mereka memilih bersikap netral dengan menuai resiko hujatan dari kedua belah pihak komunitas mereka. Well, sesuatu harus tetap dipilih kan?
Saya sangat suka dengan cerita Kak Frans tentang Sir Edmun Hillary dengan orang Nepal itu. Bahwa seharusnyalah hakikat perbedaan itu ditanggalkan dan mendefinisikan manusia bahwa dia adalah individu yang hakiki, universal dan humanis. titik. tidak ada budaya, agama, bahkan konsep Tuhan (masing2) sangat tidak Pancasilais untuk warga negara Indonesia memang, mungkin saya akan di cap atheis. Tapi memang inilah eksistensinya. Pada saat menghadapi hidup dan mati, semua label yang menempel pada diri kita akan gugur dan yang tertinggal hanyalah kemanusiaan.
http://www.
No comments:
Post a Comment