Wednesday, February 20, 2008

Banyak Jalan Menuju Teguh (Re: For Those Diffusive Nights That I've Been Through)

Di bawah ini adalah puisi Hatib Abdul Kadir aka Negro Manis* menanggapi puisi saya yang berjudul "For Those Diffusive Nights That I've Been Through".

Persautan puisi ini terjadi diawali dari perbincangan kami di suatu malam di bilangan Benhil. Ditemani campuran vodka & green tea (jangan bertanya kenapa, itu memang campuran yang aneh *grin)

Malam itu saya cukup tersentak ketika Hatib menilai saya memiliki jiwa yang diffusive. Segelisah itukah saya? Jika memang tubuh ini harus dihuni oleh jiwa yang kembara, maka saya harus menunggu saat untuk berpijak.

Saya adalah orang-orang yang pergi. Dan saya terdampar di belantara Jakarta ini. Awalnya saya berpikir bahwa dengan ritme hidup di Jakarta yang akselerasinya sangat cepat, dapat mengakomodasi kebutuhan jiwa saya. Tapi ternyata saya hanya berkecipak di permukaan riak jakarta tanpa bisa menapak pada dasar kehidupan yang hakiki.

Bermain di permukaan, yah itulah yang sedang saya lakukan. Saya rindu untuk kembali berpijak. Jiwa yang diffusive di jakarta hanya menambah diaspora kehidupan dari seorang Danielle.

Terima Kasih Hatib, kau telah menarikku kembali ke bumi ini. Dan pencarian ini belum berakhir. Tidak apa-apa kan? Semoga alam semesta mengijinkan.

*Hatib Abdul Kadir aka Negro Manis adalah penulis & antropolog muda berbakat yang telah menerbitkan 3 buku: Mari Mendaki Gunung, Tato, dan Tangan Kuasa Dalam Kelamin; serta asyik menggeluti studi tubuh sosial. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja sebagai redaktur budaya di MelayuOnline.com, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (http://about.melayuonline.com/?a=UnEva0xRL1lYcXRCeDdraQ%3D%3D=#hatib).
Penulis juga anggota milis Bunga Matahari dan Apresiasi Sastra

This is the story of Melancholic Whore:

Banyak Jalan Menuju Teguh

; Primavega, Melancholic whore; DWP

Jakarta kali ini hujan
benar-benar basah
Langit abu-abu kelam tergambar di pucuk-pucuk gedung
yang berdiri seperti teguh

Di sebuah malam yang kesekian kali,
pinggul pualam-mu menggeletar
liang mu menggeliat dan terlatih
menegakkan teguh, untuk terus mendaki di setapak bukit
licinmu

Jakarta kali ini hujan
Banyak teguh kokoh, tegar dan tegak untuk kesekian
kali digenggam
Sehingga kau tak sering terpeleset atau terjungkal
Berpayung agar tak basah, berpegang agar tak
terdampar...pada keteguhan-keteguhan itu.

Jakarta kali ini hujan
Gelapnya diterangi sesekali oleh kilat
dan dalam garbamu yang gulita terdapat aksara yang
mampu mengeja teguh mana yang hendak kau pilih.

Jakarta benar-benar basah
Langit abu-abu kelam tergambar di pucuk-pucuk gedung
Di dinding rahimmu ada berbagai guratan teguh yang
telah kau eja
Sehingga Kau bisa kasar, punya peraturan dan berhak
menunggang teguh seperti pengembara di padang tundra.

Duhai dewi pemuja teguh
Sudahlah, Jakarta sudah hampir tergenang….
Tak ada lagi yang tersisa, kecuali hanya bekas geletar
pinggulmu yang menjalar di kesekian malam, diantara
sodokan teguh-teguh yang terus berdatangan seperti
hujan.

HAKOS, Gambiran, Yogyakarta

1 comment:

  1. “Buchstabe Vom Herzen”

    Lieb der Engel der nacht, der stern vom block sechs...


    ich bin immer Wartezeit für Sie
    unter dem grauen Lattenhimmel...


    Ihr Herz gerade erhalten...

    Batavia, 23 Februari 2008
    Dwi Rastafara
    "Fajar Nila"

    ReplyDelete