
Peranan perempuan dalam gereja Katolik saat ini adalah plastik, pergerakannya hanya sebatas menghias gereja dengan rangkaian bunga yang cantik, menyiapkan dahar “romo” dan tugas-tugas lain yang masih bersifat “domestik”. Tata cara Katolik dari jaman dahulu hingga sekarang sangat kental dengan patriarkisme. Jika toh ada perempuan yang menonjol dalam karya Ilahi pada jaman kegelapan dahulu, maka ruang gerak perempuan itu sangatlah dihambat bahkan dimusnahkan. Kita ingat tokoh wanita Jean d’Arc yang mendapat wahyu langsung dari Allah, nasibbnya berakhir pada kematian atas hasil konspirasi kerajaan dan gereja katolik yang pada saat itu ikut berpolitik dan bernegara. Hingga saat ini pun , meskipun Vatikan sudah mengangkat banyak Santa dan Beata sebagai bentuk pemgakuan bahwa perempuan juga berkiprah dalam perjuangan gereja Katolik, machoisme masih dipertahankan dalam tatacara liturgi denganbelum bisa diangkatnya perempuan sebagai Imam.
Setelah saya membaca Nuntia no. 70 edisi Bulam Maret 2009 terutama tuliasa Imam dan wanita tersirat ada pencitraan baru terhadap perempuan Katolik yaitu sebagai penggoda Imam. Perempuan dijadikan sebagai sarana pendewasaan Imam sebagai laki-laki. Sebuah pencitraan yang cukup skandalis dan kita tidak boleh menutup mata karenanya. Sungguh sangat disayangkan ketika masyarakat dunia sedang mereyakan Hari Perempuan Internasional, tulisan ini muncul. Tanpa harus mengkritisi tulisan sebelumnya yang sangat kental dengan machoisme sehingga terkesan timpang, maka saya ingin menanggapi melalui sudut pandang saya sebagai perempuan dan tak lupa memandang kasus ini secara holistik.
Saya ingin menyeimbangkan hipostesis dari Saudara Stefanus Hariyanto bahwa eksistensi perempuan dibutuhkan demi perkembangan dan kesempurnaan Imam sebagai manusia (laki-laki). Adanya pencitraan baru bagi perempuan sebagai penggoda Imam bukanlah tanpa sebab. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa “interaksi” dan “kesepakatan” dua pihak. Ada tiga hal utama yang bisa saya tarik sebagai faktor yang melatar belakangi kasus-kasus terjerumusnya Imam dan perempuan.
Pertama adalah faktor ekonomi. Bagaimana seorang Imam memandang kesejahteraan pribadinya? Memandang kesejahteraan secara ragawi adalah awal seorang Imam mengejar keinginan daging. Contohnya adalah melek teknologi bukan berarti harus memiliki (secara privat!) perangkat teknologi tersebut. Sialnya kebutuhan daging ini dipenuhi oleh umat (laki-laki dan perempuan) sebagai sebuat tribut atau persembahan kepada gereja. Proses “supply” dan “demand”ini berlangsung terus sehingga menyuburkan aksi premanisme terselubung di dalam gereja. Faktor ekonomi yang lain adalah memandang Imamat sebagai profesi. Menjadi Imam adalah pekerjaan bukan pelayanan. Harapan dari upah hasil pekerjaannya tentulah materi seperti Handphone Nokia E71, Blackberry, makan mewah di restaurant , dll. Jadi upah pelayanan adalah berkat tidaklah cukup bagi mereka. Menjadi Imam memiliki tugas rohani yang tidak main-main dan menjadi pejabat gereja. Sungguh disayangkan jika ada Imam yang masih memiliki mental buruh dan berharap akan upah.
Kedua adalah karakter dasar manusia. Hal yang satu ini sulit diubah dan dihilangkan karena akan selalu bersenyawa dengan kehidupan kita. Contoh saya memiliki karakter dasar pemarah. Dari saya lahir hingga saya mati, sifat pemarah saya sulit dihilangkan. Yang bisa dilakukan ialah jika saya marah, maka saya harus mengubah cara saya untuk marah.
Yang ketiga adalah krisis iman. Pendewasaan jasmani bertumbuh bersama pendewasaan rohani. Yang dibutuhkan oleh anak-anak kita tidaklah hanya diberi makan tapi juga makanan rohani. Makanan jaman sekarang dengan segala formulanya membuat anak-anak kita bertumbuh lebih cepat dari kondisi kejiwaannya. Mereka mengalami puber lebih cepat karena makanan dan informasi. Oleh karena itu kita juga arus memiliki santapan formula untuk rohani anak-anak kita. Saya sangat setuju dengan sekolah minggu, Bina Iman, PIA, FKPK, Mudika, sebutlah semua wadah yang ada untuk anak muda. Disitu kita ajarkan betul-betul kepada anak-anak kita untuk menghormati Imam seperti kita menghormati orang tua kita dan guru. Kedekatan dan kekurangajaran mereka pada Imam itu karena ketidak tahuan mereka. Mari kita bimbing anak-anak, remaja, dan muda mudi untuk boleh bersahabat dengan Imam tapi kita juga harus menghormati Imam sebagai gembala kita. Untuk Imam sendiri, menanggapi tulisan Saudara Stefanus Hariyanto, bahwa persahabatan dengan wanita dibutuhkan sebagai proses pendewasaan Imam dan sebagai sarana perkembangan dan kesempurnaan manusiawi sang Imam, sangatlah tidak tepat. Sayangnya tulisan tersebut membahas dengan dangkal apa yang dimaksud perkembangan dan kesempurnaan manusiawi. Seorang laki-laki, pada saat menjadi Imam, haruslah sudah menjadi laki-laki dewasa. Yang berarti secara fisik telah memiliki kesempurnaan biologis. Jadi menurut saya Imam tidaklah memerlukan perempuan untuk kesempurnaannya sebagai laki-laki (manusia). Akan tetapi Imam memerlukan relasi dengan semua pihak untuk memperluas wawasan dan memperbanyak pengetahuan tanpa meninggalkan iman dan kebijaksanaan Ilahi.
Pada kesimpulannya, apakah perempuan boleh bersahabat dan bergaul dengan Imam? Jawabannya adalah BOLEH. Yesus memiliki sahabat wanita. Santo Ambrosius bersahabat dengan
No comments:
Post a Comment