Seminggu ini sudah ada tiga teman yang tanpa tedeng aling-aling menanyakan nomor PIN. Saya agak terganggu tiap ada pertanyaan ini, mbok ya ditanya dulu saya pakai telepon genggam merk apa. Tapi mungkin saya yang menjadi aneh, karena pertanyaan itu mungkin sudah lazim. Salah sendiri hari gini gak pake BB? Hehehehehe…
Ah BB, betapa fenomenalnya dirimu…Saya masih ingat empat tahun yang lalu ketika bekerja di sebuah hotel elite di Jakarta. Saya baru melihat alat komunikasi ini digenggam oleh tamu-tamu saya. Pasti harganya mahal ya, wong bayar kamarnya aja empat jutaan. Tapi saya agak sebel juga, karena setiap keramahtamahan saya dibalas dengan tetap menunduk dan tatapan tertuju pada alat itu. Wah, saya dianggap invisible rupanya.
Hingga tidak beberapa lama Research in Motion mulai menancapkan bisnisnya di Indonesia, setiap hari para pejabat RIM sliwar-sliwer, datang dan pergi di hotel saya. Bahkan saya pernah dititipi selusin BB untuk diberikan ke sebut saja “Bapak A”. Sejak itu maka menjalarlah para pengguna BB di kantor saya. Dari sales marketing
Secara sosial, saya menolak keberadaan BB ini. Dan ketakutan saya pun terjadi, semua orang yang berpapasan dengan saya di koridor menjadi seperti Zombie, berjalan sambil menunduk, tatapan terpaku pada BB di tangan. Pada saat saya menyapa, mereka mendongak sebentar, tersenyum sedetik, dan menundukan kepala kembali, seolah-olah tidak mau tertinggal satu detikpun aktivitas di dalam BB mereka itu. Terus terang saya jengkel, saya seperti invisible. Jabat tangan, tepukan kecil di punggung sudah diganti dengan aktivitas nirkabel seperti: “poke”, “ping”, atau “buzz”. Mereka adalah zombie dan saya hantu gentayangan di koridor. Hehehehehehe….
Wah hebat juga pemasaran orang-orang Research in Motion ini, BB menggurita dan merambah masyarakat secara lintas sosial dan budaya. Saya hampir saja membeli BB jika suatu sore tidak terjadi kecelakaan kecil itu. Pada saat saya selesai berbelanja, saya ditabrak seorang Ibu di depan gerai Kemchick. Saya tidak akan murka jika saya tidak melihat BB berwarna putih di genggaman Ibu itu. Dan pada akhirnya Ibu itu mendapat kuliah gratis tentang sosiologi dan saya mendapat bayaran permintaan maaf. Hahahahaha…. Coba bayangkan jika ibu itu sedang mengendarai mobil, bahayanya akan lebih besar bahkan bisa merenggut nyawa, hanya karena Ibu itu selalu BBMan (mungkin Ibu itu sedang arisan dengan cara BBMan, dengan begitu mereka jadi irit tempat dan biaya konsumsi)
Setelah kejadian itu, pikiran saya menjalar pada nasib generasi muda kita nanti (duh jauh amat yak?) Kalau para Ibu ini berat ke BBM daripada bersosialisasi langsung dengan anak, bisa jadi para balita nanti lebih cepat bisa mengetik daripada berbicara atau berjalan. Hehehehehe ekstrim memang. Silaturahmi secara spasial diganti dengan jaringan sosial tanpa kabel yang hanya 10x15 centi. Wuuuih begitu mengkerutnya kehidupan manusia sekarang ini. Ah saya rindu untuk berkunjung dan membawa buah tangan daripada sekedar menekan tombol “ping”, “poke”, atau “buzz”.
Ini adalah surat terbuka saya untuk para sahabat supaya tidak lagi bertanya berapa PIN saya. Karena saya tidak akan pernah menjadi pengguna BB. Hehehehehe…saya sudah melihat beberapa teman saya tersenyum kecut atau mengangkat alis dan menganggap saya gila. Tidak apa-apa, karena saya bukan bagian masyarakat yang gumunan (mengambil istilah mas Kris Budiman). Ah BB, betapa fenomenalnya dirimu.
"Long Live The Gumunans"
BB adalah sarana komunikasi muktahir..bahkan bagi sebagian orang merupakan "ikon" gaya hidup jaman skrg. Jadi utk apa antipati atau sampai menghindari? Yang benar adalah bagaimana bisa memanfaatkan nya dgn sadar guna dan tepat guna..:) Salam buat mba Woro
ReplyDelete"Karena saya tidak akan pernah menjadi pengguna BB"
ReplyDeleteReally? Are you sure?
Now, you are BB user, aren't you? :)
eh bebe
ReplyDeleteno BB set a new level of quality life, stay true to ourselves is better. I am with you my dear!
ReplyDelete