Saturday, October 23, 2010

Beragama Belum Tentu Berakhlak Baik



Apakah dengan saya beragama itu menjamin saya berakhlak baik? Saya berani menjawab tidak menjamin. Bahkan akhlak dan agama tidak berbanding lurus dalam diri saya sebagai manusia, masing-masing punya urusannya sendiri-sendiri (bahkan seringkali bentrok di bathin saya). Dibawah ini adalah sharing iman saya tentang akhlak dan agama:

Suatu malam ketika saya sedang Malas On Duty, seorang pria Jepang tergopoh-gopoh sambil memegangi tangannya. Jejak darah berceceran dari pitu masuk hingga area lobby. Rupanya telapak tangannya terbelah karena dia harus menahan pedang yang digenggam oleh seorang penjambret yang berusaha menjambret tas istrinya.

Seketika saya membawa pria jepang itu ke rumah sakit. Seperti yang sudah-sudah terjadi di rumah sakit manapun di Indonesia, pria Jepang itu ditangani sekedarnya dan diwajibkan memenui kelengkapan administrasi untuk mendapatkan perawatan yang lebih "serius". Proses administrasi tersebut terhenti pada kolom agama. Saya bertanya, "What is your religion?" Pria Jepang itu menggeleng lemah. Dia menjawab,

"Di negara kami, pemerintah tidak mewajibkan warga negaranya untuk beragama, tapi negara kami aman. Di negara Anda semua orang harus beragama, tapi tiap orangnya saling menyakiti."


Seketika saya terhenyak, bathin saya tercabik. Malu itu sudah pasti. Padahal dia dalam keadaan lemah dan tatapan kosong, bicara dengan lembut dan tanpa emosi. Khas orang Jepang. Tapi saya tidak tahu di dalam bathinnya terlukis sebongkah kekecewaan. Mungkin.

Dari sekelumit kisah diatas tanpa harus saya ceritakan detilnya (saya akhirnya menulis sekenanya agama yang dia anut dan saya menulis: (possibly) Bhuddist...) saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa ini. Bahwa agama tidak berbanding lurus dengan perbuatan kita, contoh kasus, orang yang menjambret tadi pasti di KTP-nya punya agama. Sementara keamanan yang dikeluhkan pria Jepang tadi, itu jadi urusan negara saja, saya tidak mau pusing (maaf, seharusnya itu juga menjadi tanggung jawab individu sih, tapi sangat menyenangkan untuk saat ini jika saya menyalahkan aparat negara *nyengir)

Agama bisa jadi hanya label, pagar, atau bungkus yang masih bisa dilepas, diterobos, dan dibuang ketempat sampah pada saat sisi kemanusiaan tergantikan dengan naluri (bentuknya bisa bermacam-macam: naluri untuk bertahan hidup, berbuat jahat, berbuat mesum, atau mau naluri menjadi munafik juga boleh) Tapi yang pasti, kita tidak bisa bohong sama kata hati, hati nurani, spiritual kita yang tak henti-henti mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan. Hanya saja suara peringatan tersebut kadang begitu lemah, terhimpit oleh berbagai kepentingan, jadi jarang terdengar.

Belajar memperkaya spiritualitas dengan kebaikan dan etika sepertinya tidak perlu sampai ke Yunani. Kita tinggal mengunjungi bathin kita dan berkaca pada realitas disekitar kita. Banyak pelajaran yang bisa kita petik. Sesekali tengoklah sisi spiritual kita. dengan rendah hati kita berkunjung dan minta maaf karena kita jarang merawat dan menyuburkan nurani. Saya jadi teringat kalimat yang terus menerus saya ucapkan sejak jaman kuliah dulu. Dan kalimat ini yang membuat saya diusir dari kelas Filsafat khususnya mata kuliah Pengantar Logika I (inget banget deh)

"Lebih baik saya menjadi Atheist tapi saya Humanist daripada demi nama Allah saya membunuh manusia"

Saya pikir Tuhan juga tidak akan setuju dibela dengan cara seperti itu....











2 comments:

  1. ini adalah sebutir potret yang terus menetas dimanapun dan kapanpun, dan yang membuat terhenyak serta tercabik terjadi didalam lingkaran bagian kita kejadiannya bu`e: pada dasarnya setelah dilakukan olah kejadian ulang semuanya memiliki sebab akibat dan keterlibatan semua sistem secara langsung maupun tidak langsung, apapun itu sependapat dengan ungkapan: "Lebih baik saya menjadi Atheist tapi saya Humanist daripada demi nama Allah saya membunuh manusia", [tatapan kagum]

    ReplyDelete
  2. Anonymous3:28 AM

    terharu bgt :)

    ReplyDelete